Selasa, 17 Juni 2008

SELAYANG PANDANG SEJARAH TAFSIR

Seperti kita ketahui bersama, tradisi penafsiran Al Quran telah mengalami perjalanan yang sangat panjang sejak Al Quran diturunkan 14 abad yang silam. Adalah Muhammad, Rasul dan Nabi akhir zaman yang dipercaya mengemban misi suci mengentaskan manusia dari peradaban jahiliyyah menuju kehidupan yang madani dengan dibekali sebuah kitab suci dengan menggunakan hanya satu bahasa, yakni bahasa arab.

Pada awalnya, tafsir belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Perkembangannya lebih bersifat “mengekor” dalam studi hadis. Boleh dikatakan, Hadis merupakan induk semua disiplin ilmu dalam khazanah keilmuan islam sebab apapun yang dikatakan, dilakukan, dan disetujui oleh Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai perterjemahan pesan-pesan wahyu secara langsung.

Sampai pada akhirnya, para ulama memandang perlu memisahkan dan membuat tafsir berdiri terpisah dari induknya, hadis. Seiring dengan itu, perluasan dakwah islam sangat gencar dilakukan ke berbagai pelosok daerah.

Menjadi sebuah kendala ketika islam telah tersebar ke berbagai wilayah di luar jazirah Arabia dan pemeluk islam bukan hanya orang arab. Tak pelak, untuk dapat memahami makna yang terkandung dalam kitab suci, pengalihan bahasa wahyu ke dalam bahasa setempat mutlak dibutuhkan.

Muncul-lah Tafsir sebagai sebuah disiplin ilmu di tengah-tengah kehausan umat akan pengetahuan yang lebih mendalam tentang kitab suci mereka. Kata tafsir sendiri, hanya tersebut satu kali dalam Al Quran, QS. Al Furqaan (25) : 33 " Walaa Ya'tuunaka Bi Matsalin Illa Ji'naaka Bil Haqqi Wa Ahsana Tafsiiran". (Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya". Atas dasar makna inilah, tafsir secara bahasa diartikan.

Menurut istilah hampir setiap ulama ahli Al Quran mempunyai difinisi yang berbeda –beda tentang tafsir. Namun khalifah lebih sepakat pada pengertian bahwa tafsir ialah sebuah usaha untuk menjelaskan makna Al Quran dan mengambil hukum serta hikmahnya sesuai dengan kemampuan manusia.

Mengingat tafsir merupakan usaha untuk menterjemahkan bahasa wahyu ke dalam bahasa lain, maka diperlukan perangkat-perangkat tertentu. Nah, perangkat-perangkat inilah yang disebut oleh para ulama sebagai 'Uluumul Quraan".

Awalnya, Ilmu Al Quran masih sangat terbatas. Ada yang menyebut, Ilmu Rasm Al Quran (ilmu tentang penulisan Al Quran) merupakan embrio bagi berkembangnya cabang-cabang ilmu Al Quran yang lain. Sebab, sejak pertamakali diturunkan, Nabi SAW telah memberikan perintah secara langsung untuk menuliskan Al Quran sebelum menjelaskannya kepada para sahabatnya.

Di lihat dari sisi sumber, metodologi, dan corak, tafsir pun dipeta-petakan. Adalah tafsir bil Ma'tsuur yakni tafsir Al Quran yang sumbernya berasal dari ayat Al Quran sendiri, hadis Nabi SAW, dan perkataan para sahabatnya. Sedang penafsiran yang bersumber dari perkataan tabi'in dan setelahnya dinamakan tafsir bir ra'yi.

Dari segi metodologi terdapat tafsir tahlili, yaitu cara menafsirkan Al Quran secara ayat per ayat sesuai dengan urutan pada mushaf. Ada pula Maudu'i, yakni cara menafsirkan Al Quran secara tematik. Dan Muqarin yaitu cara menafsirkan Al Quran dengan mengetengahkan berbagai pendapat ulama mengenai ayat tertentu. Isyaari disebut juga masuk dalam pemetaan ini. Yakni menafsirkan Al Quran secara tersirat tanpa menanggalkan makna tersurat.

Adapun dari aspek corak dikenal fiqhi yaitu hasil penafsiran Al Quran yang lebih cenderung menyoroti masalah hukum. Bila penafsiran seorang mufassir (orang yang menafsirkan Al Quran) lebih dominan pada masalah-masalah penyucian hati atau peningkatan kualitas ibadah maka disebut Sufi. Namun jika pembahasan bahasa yang lebih kental maka dikatakan Lughawy. Dan Masih banyak corak lainnya.

Rubrik tafsir ini selanjutnya akan membahas penafsiran Al Quran secara tematik. Akhir-akhir ini, cara penafsiran model ini banyak diminati para pengkaji Al Quran. Selain alasan efektif dan efisien, diakui penafsiran yang dilakukan dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al Quran yang membicarakan tema tertentu pada tahap awalnya ini lebih mencakup dan lengkap.

Ada yang mengatakan cara penafsiran seperti ini baru saja digulirkan. Padahal sebenarnya, menafsirkan Al Quran secara tematis telah lama dikenal. Sebut saja Al Jashas (370 H) dengan Ahkaamul Quraan (hukum-hukum Al Quran) nya atau Ibnul Qayyim (751 H) dengan At Tibyaan Fi Aqsaamil Quran (penjelasan tentang ayat-ayat sumpah dalam Al Quran) dan lain-lain.